Damhuri Muhammad
“Bahasa Arab adalah bahasa cinta. Sayangnya, inilah yang diabaikan oleh orang-orang di Barat. Tidak ada bahasa lain yang memiliki 90 sinonim untuk cinta, dan derajatnya berbeda-beda pada setiap pilihan kosa kata. Ia juga bahasa deskriptif yang cermat karena leksikonnya yang sangat kaya,” ungkap Ahlam Mosteghanemi, penyair-novelis terkemuka Aljazair, dalam sebuah wawancara, sebagaimana disiarkan Arablit & Arablit Quartely (a magazine of arabic literature in translation), pada 2021 lalu.
Disebut-sebut, Ahlam adalah generasi penulis Aljazair pertama yang beruntung dapat mempelajari bahasa Arab dalam standar modern, karena di era kolonialisme Prancis, segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan bahasa Arab adalah terlarang.
Pemenang Naguib Mahfouz Medal for Literature (1998) atas novelnya Zakirat el-Jassad (1993) dan founder Maleek Haddad Literary Prize itu mengaku, pilihannya pada bahasa Arab sebagai bahasa kepengarangan adalah bagian dari caranya bersetia pada pilihan ayahnya, Mohammed Cherif, tokoh kemerdekaan Aljazair, yang semasa hidupnya menolak segala bentuk pelarangan atas penggunaan bahasa Arab, karena kolonialisme Prancis masa itu sedang melucuti rupa-rupa identitas kultural tanah jajahan.
Ahlam mengatakan, ayahnya sangat fasih berbahasa Prancis, menyukai sastra dan filsafat Prancis, tetapi ia selalu merasa terasing karena tidak bisa mempelajari bahasa Arab. “Pada tahun enam puluhan, setelah kemerdekaan Aljazair, ketika ayah saya mendaftarkan saya di sekolah Arab pertama untuk anak perempuan di Aljazair, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ia telah memilih takdir saya.
Baginya, memilih bahasa Arab adalah keputusan politik yang disengaja, tapi bagi saya, itu adalah keinginan ayah saya yang ingin saya penuhi,” kenang Ahlam.
Di era tujuh puluhan, yang penuh dengan puisi, Ahlam adalah perempuan Aljazair pertama yang menulis sajak dalam bahasa Arab. Masa itu, sementara sebagian besar tema sastra berkisar pada korban perang, Ahlam malah menulis sajak-sajak cinta seperti yang terhimpun dalam antologi Ala Marfa al Ayam (1973) dan Al Kitaba fi Lahdat Ouray (1976).
Kepindahan ke Beirut di awal tahun 90-an menjadi periode penting lainnya dalam karier kepengarangan Ahlam, karena di sanalah novel pertamanya Zakirat el-Jassad (kelak popular dengan terjemahan Inggris berjudul Memory in the Flesh) diterbitkan, dan kesuksesannya, tak terduga, telah melanda seluruh dunia Arab.
Pembaca dan kritikus sastra terheran-heran dan bertanya-tanya, bagaimana seorang wanita Aljazair bisa memiliki bakat seperti itu dalam menulis fiksi, mengingat Prancis telah merampas hak warga Aljazair untuk belajar bahasa Arab selama lebih dari satu abad.
Menurut Ahlam, Zakirat el-Jassad telah membuka jalan bagi genre baru dalam menulis, dan menjadi sarana untuk menyuarakan cerita yang tak terhitung banyaknya, juga menghindari mesin sensor. Strategi terencana ini telah membuat karya-karya Ahlam dapat diakses oleh pembaca yang lebih luas.
Zakirat el-Jassad berkisah tentang seorang laki-laki bernama Khalid, mantan pejuang kemerdekaan Aljazair yang kehilangan lengan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsanya. Ia diasingkan di Paris, dan beralih menjadi seorang pelukis yang karya-karyanya sangat diperhitungkan di Eropa.
Di kota itulah Khalid bertemu dengan putri mantan rekan seperjuangannya, dan jatuh cinta. Ahlam (nama karakter yang sama dengan nama penulis) berusia setengah dari usianya, adalah seseorang yang diingat Khalid saat ia masih bayi. Bagian akhir novel itu menceritakan kunjungan pertama Khalid ke kota asalnya, Constantine, setelah hidup eksil selama bertahun-tahun. Ia berharap dapat melihat bagaimana impiannya telah terpenuhi di negara yang sekarang sudah merdeka.
Namun, sebaliknya dikisahkan, Khalid justru merasa kota itu telah kehilangan jiwanya, kehabisan warna dan ambisi. Constantine kini hanya sebuah kota “yang terbangun saat kita pergi tidur, mengenakan warna sedih dan suram yang sama.”
Salah satu anggota komite penjurian Naguib Mahfouz Medal for Literatur 1998 menulis sebuah testimoni tentang Zakirat Al-Jasad, yang terjemahan bebasnya kira-kira begini; "Ahlam adalah cahaya yang bersinar dalam kegelapan yang pekat. Ia mampu keluar dari pengasingan linguistik di mana kolonialisme Prancis telah menurunkan martabat intelektual Aljazair.”
Novel kelima Ahlam, Aswad Yaleeq Bek (2012) yang kemudian muncul dalam edisi Inggris dengan judul Black Suits You Well, terjual lebih dari 100.000 eksemplar dalam dua bulan setelah dirilis, dan dilaporkan masuk dalam daftar panjang Penghargaan Buku Sheikh Zayed 2013. Sukses Aswad Yaleeq Bek adalah kelanjutan dari keberhasilan beberapa novel penting sebelumnya seperti Zakirat el Jassad (Memory in the Flesh), Fawda el Hawas (Chaos of the Senses), dan Aber Sareer (Passer-by a Bed).
Setelah tercatat sebagai salah satu penulis perempuan berbahasa Arab terlaris di dunia, beberapa novel Ahlam terdaftar sebagai buku wajib dalam kurikulum sejumlah sekolah menengah dan universitas di dunia, dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Prancis. Aswad Yaleeq Bek berkisah tentang perjuangan guru muda Aljazair.
Putri seorang musisi, yang pada era 90-an dibunuh oleh sekelompok teroris, yang masa itu hendak memusnahkan segala bentuk karya seni, termasuk musik, dalam keseharian masyarakat Islam. Protagonis sengaja menghadang teror itu guna membalas kematian ayahnya. Ia bernyanyi di pemakaman ayahnya, ia menyita banyak perhatian di panggung-panggung ketika ia tampil dengan suara yang memukau.
Ia menghadapi kaum anti seni dengan seni itu sendiri, dengan membangun reputasi sebagai penyanyi, sebagaimana mendiang ayahnya. Lagi-lagi protagonis ini harus melarikan diri dari negaranya, dan hidup sebagai eksil sebagaimana karakter dalam novel-novel Ahlam yang lain. Selama di pengasingan ia bertemu dengan seorang pria kaya dan misterius yang mencoba merayunya.
“Saya telah menghabiskan bertahun-tahun di Paris. Saya menikah di sana, memulai keluarga kecil saya di sana, dan menerima gelar PhD di Sorbonne. Jadi, saya sangat paham isu-isu yang menarik bagi media Prancis dan Barat, dan tentu akan membuka jalan menuju ketenaran saya di tingkat internasional. Namun, saya tidak tertarik dengan ketenaran itu,” ungkap Ahlam dalam sebuah interview sebagaimana ditulis oleh Karima Belghiti dan Jonas Elbousty dalam artikel bertajuk Ahlam Mosteghanemi: A Writer’s Journey of Love for and Devotion to Arabic Literature.
“Kemuliaan dan ketenaran tidak berarti banyak bagi saya. Saya mengerti bahwa banyak penulis Aljazair mungkin memiliki sikap yang berbeda, dan saya menghormatinya. Tapi bagi saya, tidak ada yang menyamai kemuliaan dekat dengan orang-orang dan warisan budaya nenek moyang Anda,” ungkap Ahlam lagi.
Sejumlah pengamat mengklaim Ahlam Mosteghanemi dan Assia Djebar sebagai dua penulis terpenting dalam fiksi Aljazair abad 20. Namun, tidak seperti Djebar, yang berimigrasi ke Prancis sebagai caranya memprotes kebijakan Arabisasi ilmu sosial dan humaniora di universitas-universitas Aljazair—kebijakan Presiden Boumedien—Ahlam tetap menulis dalam bahasa Arab.
“Saya menguasai bahasa Prancis dengan baik, tapi bahasa Arab adalah bahasa hati saya dan suara iman saya. Saya tidak tahu bagaimana mengatakan aku mencintaimu kecuali dalam bahasa Arab. Saya juga suka puisi Prancis, tapi saya hanya bisa menulis puisi dalam bahasa Arab,” kata Ahlam.
Begitulah, Ahlam bersetia pada bahasa Arab. Ia terlahir dengan bahasa kaum kolonial sebagai bahasa ibunya, ia juga bukan berasal dari jazirah Arab. Tapi jejak peradaban Islam Afrika utara dengan bahasa Arab sebagai penanda utamanya, telah membuat seorang pengarang besar seperti Ahlam, tiada bakal berpaling darinya.
*Cerpenis, kolumnis
Pengajar Filsafat, Fakultas Sastra Universitas Darma Persada, Jakarta